Fenomena Film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ Munculkan Perdebatan Panjang

TrendNews – Fenomena film “Vina: Sebelum 7 Hari” terus menjadi sorotan publik, bahkan setelah perilisannya, dengan kontroversi seputar kejadian yang diangkat dalam film tersebut.

Media sosial ramai dengan berbagai teori dan pendapat terkait film ini, baik dari penonton yang telah menontonnya maupun yang belum.

Hal ini juga memunculkan pertanyaan seputar regulasi pembuatan film di Indonesia, khususnya film adaptasi dari kisah nyata.

Menurut Rommy, LSF tidak mengatur secara spesifik pembuatan film adaptasi dari kisah nyata.

Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14, hanya ada dua jenis film yang dinilai, yaitu film cerita dan non-cerita.

“Film cerita merupakan film yang isinya mengandung suatu cerita, sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi informasi,” jelas Rommy.

Dia menambahkan bahwa dalam penilaian LSF, klasifikasi fiksi dan non-fiksi tidak berlaku.

Film adaptasi dari kisah nyata seperti “Vina: Sebelum 7 Hari” masuk ke dalam kategori film non-fiksi, di mana sutradara merekam peristiwa nyata tanpa menyajikan fiksi.

LSF memberikan tanggung jawab kepada pembuat film setelah mereka memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

Namun, LSF juga memberikan kebebasan kepada sineas untuk berkarya dengan kreativitas mereka sendiri.

Regulasi LSF juga mencakup pengkategorian adegan kekerasan dalam film, seperti tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, dan lainnya.

Meskipun demikian, LSF tetap memberikan kebebasan pada pembuat film untuk mengekspresikan kreativitas mereka, dengan syarat tidak menampilkan adegan yang mengandung unsur pornografi secara vulgar.

LSF menegaskan bahwa mereka tidak mengatur detail kreativitas para pembuat film, sehingga memberikan ruang bagi para sineas untuk berkarya sebebas mungkin.

sumber: detik.com

Baca Juga  Mengupas Perjalanan Herry, Seniman Henna Berbakat dari Pontianak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *